Tindak Pundi, Mbah?
Maskembarr
Sudah tidak enak rasanya ngundur-undur waktu. Seragam sekolah itu sudah berbulan-bulan tak anggurkan di lemari. Dulu aku bilang sama dia, “paling cuma dua minggu kok.” Ya, karena banyak hal mendadak dan genting yang tak terduga datangnya menjadikan pengerjaan melukis baju saya tersebut tiba-tiba terhenti.
Siang hari setelah salat jumat. Aku berencana membeli kuas untuk melanjutkan lukisan baju seragam. Sudah izin keamanan, sudah dapat pinjaman sepeda motor. Berangkatlah saya menuju toko alat lukis.
Toko alat tulis tujuanku itu berada di Sewon, Yogyakarta. Tepatnya di dalam gang kedua selatan gedung pyramid sewon. Di tengah perjalanan yang belum jauh—baru sampai perempatan jejeran—aku teringat Toko Alat Tulis Cahaya. Seingatku dulu di dalam toko itu ada kuas juga dari salah satu banyak barang yang di jual. Menyebranglah aku ke toko tersebut. Eh, ternyata tokonya tutup. Ya, sudah, ke sewon saja belinya. Aku lanjutkan perjalananku ke arah utara karena malas untuk putar balik. Tepat di gang selatan SPBU, aku belok kiri. Selang beberapa puluh meter ada nenek-nenek tua renta melambaikan tangan kepadaku. Aku berhenti di depannya.
“Ada apa nek? Ada yang bisa saya bantu kah?”
“Terminal”, katanya dengan sangat lirih.
“Apa nek?!”, tanyaku dengan suara yang agak keras di dekat telinganya—barangkali pendengarannya sudah berkurang banyak apabila aku lihat dari fisiknya yang sudah sangat tua.
“Giwangan”, katanya lagi juga dengan sangat lirih.
“Oo, nggih!!”
Mulanya aku bingung, mau aku antarkan dia ke terminal atau tidak. Namun setelah kupikir-pikir—karena sedang mengejar waktu—ah, antarkan sajalah, toh juga sebentar.
Aku mengantarkan nenek itu dengan pelan-pelan dan sangat hati-hati. Dia membonceng saya menghadap ke samping. Aku takut dia jatuh. Satu tanganku memegang setang kemudi dan satu tanganku yang lain memegang lutut nenek agar tidak jatuh ke kiri.
Di seiring perjalanan nenek itu ngomong terus tak henti-henti. Aku hanya menganggukkan kepala saja terus-menerus. Ya, bagaimana lagi. Mau menanggapi perkataannya juga tidak bisa karena suaranya sangat lirih dan kalah dengan suara bising kendaraan di jalanan. Sesampai di daerah Grojogan aku sedikit mendengar perkataannya yang lirih itu.
“Dolan”, begitu katanya yang aku dengar dengan sedikit ragu.
“Apa nek?!”, tanyaku kepada nenek memastikan apa yang aku dengar.
“Dolan”
“Apa nek?! Dolan?!”
“Hoo”
Dengan spontan karena kaget dan deg-degan aku langsung menghentikan sepeda motorku di pinggir jalan. Dan langsung aku pastikan ke mana sebenarnya nenek itu tujuannya.
“Ajeng dolan, mbah?!”
“Dolan”
“Hanggeh, ajeng dolan?!”
“Hoo, dolan.”
“Waduh, kulo selak ajeng ten rumah sakit, je, mbah”
“Dolan”, katanya lagi.
“Lha, nggih. Kulo niku selak ajeng ten rumah sakit.”
“Dugi mriki mawon nggih mbah?!”, terusku.
“Terke tekan terminal, Giwangan, lor bangjau.”
“Oo, nggih. Terus mangkih nek sampun, tak tinggal bali nggih mbah?!”
Aku lalu melanjutkan perjalanan menuju terminal Giwangan mengejar waktu untuk mendaras guna persiapan malam itu.
Selang beberapa saat. Ketika sampai di daerah Tamanan aku mendengar satu kalimat yang agak mengganjal dari banyak kalimat yang dikatakan nenek terus-menerus selama perjalanan.
“Nopo mbah?!”, tanyaku sambil memperhatikan jalan agar tidak menabrak sesuatu di jalan.
“Ngisor udel.”
“Nopo mbah?”
“Ngisor udel.”
“Nopo?! Ngisor udel?!”
“Hoo.”
“Ngisor udel e ngopo mbah?!”, tanyaku dengan keras dan nada tinggi.
Sebenarnya kenapa nenek ini. Kok terlihat agak nyeleneh dan agak nakal denganku. Aku deg-degan sekali, takut akan terjadi apa-apa. Jangan-jangan ini jebakan seseorang yang sedang mencari mangsa agar aku memperkosanya dan bisa menghajarku habis-habisan. Aku semakin bingung. Sebenarnya ini ada apa? Rasanya sangat aneh. Dadaku mak ser, rasanya mrinding seperti disiram air es. Seperti rasa takut yang sangat akut.
Setelah beberapa meter aku tanya lagi nenek itu.
“Enten nopo mbah?!”
“Ngisor udel.”
“Hanggih. Ngisor udel e enten nopo?!”
“Ngisor udel.”
Aku berhenti. Rambu lalu lintas selatan terminal menunjukkan warna merah. Waktu yang pas untuk kutegaskan lagi kepada nenek itu, masih mau numpang atau tidak, kok trasanya sudah sangat kelewatan sikapnya.
“Tak dunke kene lho, mbah!”
“Mboten! Mboten! Dukke lor bangjau mawon.”
Kalau bukan karena rasa kemanusiaanku yang masih tersisa untuk nenek itu tidak akan aku mau melanjutkan menolong mengantarkannya ke terminal.
Lampu rambu lalu lintas sudah berwarna hijau. Aku lanjutkan perjalanan dengan hati-hati. Jalanannya cukup ramai. Aku memegangi terus lutut nenek tersebut. Takut jatuh. Haduh. Bagaimana ini. Aku juga tidak memakai helm. Aku harus menyelinap di tengah-tengah kendaraan lain agar tidak terlihat polisi yang berada di kiri jalan.
#
“Sampun dugi, mbah.”
“Tulung aku golekno taksi. Kae.”, kata nenek sambil menunjuk mobil luxio berwarna putih yang berada di depanku sejauh dua puluh meter.
“Taksi, mbah?”, tanyaku memastikan.
“Tulung golekno ojek, mas.”, katanya yang masih naik di atas sepeda motor tidak mau turun.
Wah, bagaimana sih. Ojek apa taksi, jadinya. Membingungkan. Benar-benar sudah tua nenek ini.
Tak perlu bingung. Agar tidak membuang waktu aku carikan ojek saja.
“Tinggal wae mas!”, “Dukke kono wae mas!”, “Ra waras, kui”, “Sinting, kui.”, “Kui wong edan!”, teriak tiga orang bapak-bapak menatapku menyuruh meninggalkan nenek itu, salah seorang dari ketiga bapak itu menempelkan jari telunjuk kanannya agak miring di dahinya—memberi isyarat nenek itu sinting. Aku sangat kaget usai mengetahui itu.
Aku langsung menurunkan tas bawaan nenek itu yang sebesar tas belanja pasar pada umumnya yang berisikan penuh barang-barang pribadinya. Dan aku bujuk paksa nenek itu turun dari sepeda motor.
“Kulo padoske ojek riyen, nggih, mbah!”
“Jenengan tenggo mriki!”, kataku sambil melepaskan pegangan erat nenek di begel sepeda motorku.
Aku pergi dari depan terminal dengan cepat. Agak aku kebutkan sepeda motornya, agar tidak terkejar nenek-nenek itu. Ealah, cah, cah. Kataku menggerutu di dalam hati dengan kecewa. Namun, aku bingung harus merasa—marah, sedih, kecewa atau lucu dan tertawa—bagaimana.
Bantul, 14 september 2021